Selama puluhan tahun satu-satunya ilmuwan sosial yang mengunjungi provinsi-provinsi Indonesia hanyalah para antropolog. Siapapun yang tertarik pada politik dan ekonomi terutama hanya berkutat di Jakarta, pusat dari segala macam aksi. Pandangan kita mengenai negeri terbesar nomor empat di dunia itu terancam menjadi simplistis dan kurang memiliki bobot nyata. Kemudian, pada tahun 1998, Indonesia terpuruk ke dalam sebuah krisis yang tidak dapat dipahami dengan piranti-piranti yang simplistis.rnSetelah masa 32 tahun yang diwarnai dengan stabilitasyang dipaksakan, orde baru tumbang. Di provinsi-provinsi mulai terjadi hal-hal yang tidak siap dihadapi oleh siapapun. Salah satunya adalah demokratisasi; contoh lain adalah desentralisasi. Bangkitlah identitas-identitas etnis dan religius yang sebelum itu terkubur dibalik ideologi modernisasi orde baru. Bentuk kompetisi politis yang kadang-kadang diwarnai kekerasan dan bentuk pencarian untung mulai tampak dengan gamblang. rnDesentralisasi sering dikaitkan dengan keinginan neo-liberal untuk mengurangi kekuasaan negara dan memberikan ruang bagi perdagangan bebas dan demokrasi. Sejauh mana tujuatujuan good governance dan masyarakat sipil yang lebih kuat tercapai? berapa banyak dari proses itu yang dimanfaatkan oleh para elit daerah untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri? Di tengah-tengah politik identitas baru itu, apa yang terjadi pada kewarganegaraan? ini termasuk diantara pertanyaan-pertanyaan sentral yang diketengahkan oleh buku ini